THARIQAH HIZIB NAHDLATUL WATHAN
A. Arti Thariqah dan Tujuan Pengamalannya
Secara
etimologi tharqah berarti jalan menuju hakikat. Dengan kata lain
mengamalan syari’at. Sehingga secara terminologi, Muhammad Anin al-Kurdi
mengajukan tiga definisi, Yakni:
- Megamalkan syari’at, melaksanakan seluruh ibadah dengan tekun dan menjauhkan diri dari sikap mempermudah (menggampangkan) ibadah yang sesungguhnya tidak boleh di permudah.
- Menjauhi larangan dan melaksanakan perintah Allah sesuai dengan kesanggupannya, baik perintah dan larangan tersebut bersifat jelas maupun tidak (batin).
- Meninggalkan segala yang haram dan makruh, memperhatikan hal-hal yang mubah (yang mengandung fadhilah), menunaikan segala yang diwajibkan dan disunnatkan sesuai dengan kesanggupannya dibawah bimbingan seseorang mursyid dari sufi yang mencita-citakan suatu tujuan.
Thariqat
sebagaimana yang berkembang dikalangan ahli tasawuf, ialah jalan atau
petunjuk dalam melakukan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang
dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw, dan dikerjakan oleh
sahabat-sahabatnya, tabi’in-tabi’in turun temurun sampai kepada
guru-guru atau ulama-ulama yang sambung menyambung dan rantai berantai
sampai pada masa kita ini.
Sementara
menurut L. Massignon, seorang islamiisis yang pernah mengadakan
penelitian terhadap ajaran tasauf di beberapa negara Islam, sebagaimana
dikutip oleh Mahjuddin, memberikan dua macam pengertian thariqah.
Pertama, thariqah diartikan sebagai pendidikan kerohanian yang sering
dilakukan oleh orang-orang yang menempuh kehidupan tasawuf, untuk
mencapai suatu tingkatan kerohanian yang disebut al-maqamat dan
al-ahwal . Pengertian seperti ini menonjol pada paruh abad IX dan X
Masehi. Kedua, thariqah diatrikan ssebagai sebuah perkumpulan yang
didirikan menurut aturan-aturan yang ditetapkan oleh syeikh yang
menganut suatu aliran thariqah tertentu. Dalam perkumpulan tersebut,
seorang syeikh mengajarkan ilmu tasawuf menurut aliran thariqah yang
dianutnya, kemudian diamalkan secara bersama-sama dengan murid-muridnya.
Pengertian seperti ini menonjol setelah abad IX Masehi.
Adapun tujuan pengamalan thareqah, antara lain:
- Untuk mengadakan latihan jiwa (riyadhah) dan berjuang melawan hawa nafsu (mujahadah), membersihkan diri dari sifat-sifat yang tercela dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji melalui perbaikan budi pekerti.
- Untuk menumbuhkan rasa dekat kepada Allah swt melalui wirid dan zikir yang dibarengi dengan tafakkur.
- Menumbuhkan perasaan takut kepada Allah sehingga timbul dalam diri seseorang untuk berusaha menghindari diri dari segala macam pengaruh duniawi yang dapat menyebabkan lalai kepada-Nya.
- Untuk mencari ridha Allah semata, sehingga ia mencapai suatu tingkatan (maqam) ma’rifat, yang dapat mengetahui segala rahasia Allah dan Rasul-Nya secara jelas.
B. Sejarah Lahirnya Thariqah Hizib Nahdlatul Wathan
Al-Gozali
dan Ibn al-Arabi membagi empat tahap yang harus dimulai oleh seseorang
yang menjalani ajaran tasawuf untuk mencapai tujuan yang dikenal sebagai
al-saadah (kebahagiaan) atau al-insan al-kamil (manussia paripurna).
Keempat tahapan itu, terdiri dari syari’at, thariqah, haqiqat, dan
ma’rifat. Berkaitan dengan ini Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin
Abdul Majid mengatakan bahwa syari’at itu merupakan uraian, thariqah
merupakan pelaksanaan, haqiqat merupakan keadaan dan ma’rifat merupakan
tujuan pokok, yakni pengenalan Tuhan yang sebenar-benarnya. Ia juga
menganalogikan syari’at itu sebagai sebuah sampan (perahu), thariqah itu
adalah lautan, haqiqat itu adalah mutiara. Orang tidak akan mendapatkan
mutiara kecuali melewati lautan denggan menggunakan sampan.
Lebih
lanjut dalam ajaran tasawufnya ia tidak memisahkan diametral antara
fiqh dan tasawu. Dalam konteks ini ia sering mengungkapkan argumentasi
dengan mengutip pandangan Anas Ibn Malik yang mengatakan:
“Barang
siapa yang melaksanakan Fiqh saja tanpa dibarengi dengan pelaksanaan
tasawuf, maka ia temasuk golongan orang-orang fasiq, dan barang siapa
yang hanya melaksanakan tasawuf saja, tanpa melaksanakan fiqh, maka ia
termasuk golongan orang-orang zindik, sementara barang siapa yang
mengerjakan keduanya secara sinergis, maka ia termasuk orang-orang yang
telaah mencapai drajat haqiqat”.
Berkaitan
dengan ajaran untuk mensinerrgikan antara syariat dengan hhaqiqat di
atas, ia menulis dalam bait-bait syairnya sebagai berikut:
Wahai anakku jamaah thariqat
Janganlah lupa pada syariat
Ingatlah selalu kandungan baiat
Mudahan selamat dunia akhirat
Banyak sekali membisikkan hakikat
Padahal mereka buta syariat
Sehingga awam banyak terpikat
Menjadi zindik menjadi sesat
Selanjutnya
beranggkat dari pemikiran ini, ia ingin membentuk sebuah thariqat
Nahdlatul Wathan sebagai media untuk mensinergikan aspek syariat dan
thariqat sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Proses
kelahiran Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan adalah ketika Tuan Guru Kiyai
Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid menunaikan ibadah haji, saat ia
tengah beribadah di Masjid Nabawi di Madinah, ia didatangi seorang yang
kemudian diyakini sebagai Nabi Khidir as dan ia menyampaikan salam dari
Nabi Ibrahim yang menyatakan, “bahwa Nahdlatul Wathan akan menjadi
organisasi yang lengkap dan sempurna, apabila sudah memiliki thariqat.”
Berdasarkan pengalaman spiritual ini, maka Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Majid mendirikan tariqat yang kemudian dinamakan dengan
Tariqat Hizib Nahdlatul Wathan pada tahun 1964.
Penamaan
thariqat ini dilatar belakangi oleh keinginan untuk melengkapi Hizib
Nahdlatul Wathan, sehingga thariqat ini merupakan intisari sari Hizib
Nahdlatul Wathan.
Disamping
dari pengalaman spiritual diatas, kelahiran thariqat ini juga diilhami
oleh maraknya aliran-aliran thariqat yang dianggap sesat, karena
meninggalkan ajaran-ajaran syariat, seperti shalat, puasa, zakat, dan
ibadah-ibadah lainnya.
Thariqat sesat ini olehnya disebut sebagai “thariqat syetan”, sebagaimana dikemukakan dalam syairnya:
Thariqat hizib harus berjalan
Bersama thariqat yang murni haluan
Membenteng syariat membentang iman
Menendang ajaran thariqat syetan
Selanjutnya
keberadaan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan ini juga sebagai respon
terhadap praktek pengalaman thariqat-thariqat selama ini, seperti
thariqat Qadariyah dan Naqsyabandiyah di lombok yang terkesan terlalu
berat dan memiliki persyaratan yang begitu ketat. Apalagi jika
ditambahkan dengan kewajiban ‘uzlah (mengasingkan diri) dari hiruk pikuk
kehidupan dunia pada waktu tertentu. Sekalipun ‘uzlah ini juga tidak di
larang dalam Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan, sehingga pada umumnya
masyarkat merasa enggan untuk mengikutinya. Berdasarkan kondisi ini,
maka Tuan Guru Kiyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid menyusun
Thrariqat Hizib Nahdlatul Wathan secara ringkas dan praktis, tampa
mengesampingkan makna esoteriknya (batinnya). Thariqat ini dapat
diamalkan oleh setiap orang dalam kondisi apapun, baik pada waktu
khusus, maupun pada waktu melaksanakan berbagai macam aktifitas
keseharian.
Bacaan
yang diamalkan dalam Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan terdiri dari
ayat-ayat al-Qur’an, shalawat, do’a-do’a mu’tabar dari Rasulullah saw,
para ulama dan auliya’. Prosesi ini tidak membutuhkan waktu yang panjang
dibandingkan thariqat-thariqat yang lainnya.
Disamping
bacaannya yang simpel, thariqat ini juga memiliki syarat san ketentuan
yang ringan dan fleksibel bagi seseorang yang ingin mengamalkannya,
sehingga thariqat ini dimungkinkan untuk diamalkan dan diataptasi dalam
konteks modern, yang biasanya ditandai dengan sifat fleksibel, simpel
dan efesieni. Oleh karena thariqat ini dapat merespon tuntunan
masyarakat modern, maka thariqat ini juga dinamakan thariqat Akhir
Zaman. Berkaitan dengan ini, ia mengisyaratkan dalam bait syairnya:
Thariqat Hizib thariqat terakhir
Dengan bisyarah “Al-Basyirunnadzir”
Kepada Bermi Al-Faqir Al-Haqir
Dan ditaukidkan oleh Al-Khidir
Di
sisi lain terdapat sisi-sisi kesamaan antara Thariqat Hizib Nahdlatul
Wathan dengan konsepsi tasawuf modern yang dipelopori oleh Ibn Taimiyah.
Menurut Nurkholis Majid, “Tasawuf modern adalah sebuah penghayatan
keagamaan batini yang menghendaki hidup aktif dan terlibat dalam
maslah-masalah kemasyarakatan”. Sesekali menyingkirkan diri (‘uzlah)
mungkin ada baiknya, jika hal itu dilakukan untuk menyegarkan kembali
wawasan dan meneruskan pandangan, yang kemudian dijadikan titik tolak
dalam pelibatan diri dalam aktifitas yang lebih segar.
Kelonggaran-kelonggaran dalam pengalaman Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan
dimaksudkan agar orang dapat senantiasa melibatkan diri dalam berbagai
tugas kemasyarakatan. Sedangkan tidak adanya ber’uzlah dalam Thariqat
Hizib Nahdlatul Wathan menandakan kebolehan untuk dilakukan
sewaktu-waktu bila dianggap perlu. Dan ini berarti Thariqat Hizib
Nahdlatul Wathan, walaupun perlu ditelusuri lebih jauh lagi, tapi bisa
dipandang sebagai thariqat modern.
Praktisnya
cara pengamalan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan, bisa dijadikan
alternatif berthariqat dalam kehidupan modern dewasa ini. Dengan
Thariqat Hizib Nahdlatul Watan, sekarang dapat melaksanakan tugas-tugas
kesehariannya tanpa ketinggalan akan kepuasan rohaniahnya. Dan
sebaliknya, seorang dapat hidup damai secara batiniah dalam suasana
kedekatan kepada Allah SWT tanpa kehilangan atau terasing dari kehidupan
dunia.
Kenyataan
tersebut ternyata lebih menarik minat berbagai kalangan untuk menerima
ijazah Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan, mulai dari petani, nelayan,
pedagang, hingga kalangan profesional yang telah bersentuhan dengan
teknonolgi modern. Ini adalah kesimpulan yang Abdul Aziz, seorang
peneliti Litbang Depag RI yang mengatakan, bahwa Thariqat Hizib
Nahdlatul Wathan mampu menghilangkan perbedaan antara orang tradisional
dengan orang modern dalam Islam.
Adapun syarat keanggotaan thariqat ini adalah sebagai berikut:
- Ketaatan kepada pimpinan (mursyid) thariqat, yaitu Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid, atau yang ditunjuknya.
- Mengamalkan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan setiap selesai shalat lima waktu.
- Bersedia membantu perjuangan Nahdlatul Wathan
- Membayar uang shalawat.
Sementara
ketentuan ijazah dan bai’at dalam penerimaan thariqat ini adalah
merupakan “aqad” sebagai syarat sah mengamalkannya. Ijazah dan bai’at
diberikan oleh Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul Majid
sendiri, atau oleh wakilnya yang ditunjuk secara resmi, yaitu salah
seorang muridnya yang bernama Haji Muksin Makbul.
Thariqat
Hizib Nahdlatul Wathan juga tidak mengenal hirarki kepemimpinan yang
ketat. Namun demikian, Tuan Guru Kyai Haji Muhammad Zainuddin Abdul
Majid memberi izin kepada seorang muridnya yang paling dipercaya untuk
mengijazahkan dan membai’at caloon anggota thariqat, yaitu Haji Muksin
Makbul.
Selanjutnya
dalam perkembangannya dewasa ini, Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan yang
berada dibawah pimpinan Haji Muksin Makbul ini terus mengalami
perkembangan di berbagai pelosok tanah air dan beberapa tenmpat di luar
negri seiring dengan perkembangan Organisasi Nahdlatul Wathan, seperti
di Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Bali, Sulawesi, Kalimantan,
DKI Jakarta, Tanggerang, Bekasi, Bogor, Riau, Batam, Malaysia.
C. Proses Pengamalan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan
Dalam
proses pengamalan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan ini dibagi pada empat
macam pengamalan. Prosesi ini diawali dengan pembacaan surah al-Fatihah
tiga kali, sebagaimana dalam pengamalan Hizib Nahdlatul Wathan, yaitu
surah al-Fatihah pertama, kepada Nabi Muhammad saw, keluarga, sahabat
dan para Nabi dan Rasul. Kedua, kepada Tuan Guru Kyai Haji Muhammad
Zainuddin Abdul Majid, keluarga dan para pendukungnya. Dan ketiga,
kepada seluruh para ulama dan para aulia’, kepada kedua orang tua, para
guru dan seluruh kaum muslimin dan muslimat.
Adapun empat macam pengamalan Thariqat Hizib Nahdlatul Wathan yang dimaksud, adalah sebagai berikut:
1. Wadzifah al-Rawatib, dibaca setiap selesai shalat lima waktu
2. Wirdu al-Rabithah, dibaca ketika menjelang waktu maghrib
3. Wadzifah al-Yaumiyah, dibaca satu kali setiap hari
4. Wadzifah al-Usbu,iyah, dibaca sekali dalam seminggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar