Selepas "kursus bulanan" itu, ia pun datang ke kediaman gurunya di Pancor Lombok Timur. Ia me-nyampaikan amanat yang diterimanya dahulu dari laki-laki yang mengajarnya. Pesan laki-laki itu: "kembalikan foto ini kepada saya setelah tiga bulan". Sesampainya di al-Abrar, ia tercengang. Disaksikannya lautan putih dan putih dalam balutan gamis dan kain yakni mahasiswa MDQH yang sedang belajar. Ia ragu mematung di depan mushalla itu. Ia canggung dengan balutan jeans dan kaos oblong yang dikenakannya.
Tepat di depan pintu rumah gurunya itu, ia pun tertegun. Wajah lelaki yang mengajarnya dalam rupa waktu dan tempat yang tidak bisa dinarasikan kata dan nalar itu ternyata persis seperti apa yang disaksikannya kini. Ia menyaksikan lelaki itu ternyata sesuai dengan lelaki yang mengajarnya. Ia awalnya juga sangsi bahwa apakah ia akan dikenal atau mungkin saja tetap dikenal namun tidak akan diterima. Ia ragu pada penampilan-nya yang jauh dari kesan santri seorang wali.
Senyum sapa sang Guru yang tak lain adalah Maulana al-Syaikh membuat ia takluk. Ia pun disapa dengan canda layaknya persuaan demi persuaan berbulan-bulan sebelumnya. "Hei, kamu jangan nakal, sini masuk, kamu diam sini, kamu belajar di sini", sapa Maulana seperti dituturkannya. Soedarmaji kemudian tinggal belajar menjadi murid di alam zahir selama beberapa minggu. Ia membandingkan sendiri gurunya di alam yang dia sendiri tidak mampu melukisnya dan di alam yang dapat dihadiri oleh ribuan manusia.
Ia bercerita bahwa di rumah gurunya tidak ada yang serius dikerjakannya. Disana ia tidak "serius" mengaji tetapi banyak diajak bercanda oleh gurunya. Disitulah kemudian ia mendapatkan stempel kemuridan. "Sini kamu saya stempel lidahmu", kata Maulana. Lidahnya ditulis oleh Maulana al-Syaikh dengan tulisan yang tidak dimengertinya. Setelah tulisan itulah ia dengan leluasa menyampaikan pesan-pesan agama bahkan dengan spontan dapat menyampaikan dalil dari nash Quran dan Hadits sesuai keperluannya.
Sepulang dari belajarnya itu, ia pun memantapkan dirinya untuk meninggalkan dunia angin yang mendera indah dalam pesona matahari di buritan kapal. Dia tinggalkan kehidupan glamor dengan makanan dan minuman yang melenakan. Ia sudahi berhubungan dengan sekian jenis perilaku tak terpuji di hadapan tuhan. Langit masih menyisakan daratan tempat menambatkan iman dan kuasa Allah yang memper-temukan ia dengan raja wali dari Lombok Anfanan.
Lelaki eks-Katolik itu akhirnya memilih jalan dakwah dibandingkan menjadi penginjil. Ia menjadi pendakwah alih-alih menjadi pengkhutbah seperti Mati-us dan Lukas. Logika dan nalar keislamannya mengalir seolah pernah belajar agama dalam waktu yang lama. Ayat dan Hadits dituturnya seolah ia pernah mengkaji tafsir hadits dalam waktu yang lama pula. Ia tuturkan bahwa ia memiliki jamaah dari kalangan jetset dan mampu menyadarkan ratusan orang dari keterpurukan iman dan meraihnya dari perilaku keterpurukan.
Ia menjadi konsultan iman bagi ratusan pimpinan perusahaan, ia menjadi kiyai di gedung-gedung kantor bahkan pejabat tinggi. Ia mampu mengislamkan ratusan orang terutama keluarga besarnya. Ia menuturkan bahwa lingkungan kristiani di kampungnya telah berubah menjadi keluarga muslim setelah sebelumnya ia dianggap gila dan terkucilkan.
Banyak keajaiban demi keajaiban muncul saat Maulana hilang dari pelupuk mata. Maulana tidak lagi hadir sebagai sosok yang telah mengajarkan secara lahiriah tetapi juga ternyata Maulana lebih dari sekadar yang dikenalkan sejarah manusia biasa. Maulana al-Syaikh tutup usia dalam dimensi waktu duniawi namun masih tetap hadir mengajar para muridnya.
Maulana masih mengajar saat ini. Maulana masih hayat, hayat ma’rifat. Hayat tanpa dimensi ruang dan waktu duniawi. Waktu dan tempat tanpa dimensi itu dibuktikan oleh Soedarmaji. Malam itu ia juga bercerita bahwa sampai saat ini Maulana masih kerap datang mengajarnya. Soedarmaji masih dapat belajar pra dan pasca Maulana wafat ma’rifat. Soedarmaji hanya satu dari sekian murid misterius yang telah mendapat pendidikan langsung dari Maulana baik saat beliau hayat maupun setelah wafat.
Ini adalah cermin yang menggambarkan bahwa Maulana al-Syaikh bukan manusia biasa. Maulana al-Syaikh bukan tuan guru biasa. Maulana al-Syaikh bukan tuan guru orang Pancor, bukan pula tuan guru yang paling alim di Lombok. Maulana al-Syaikh bukan ulama biasa bukan pula pendidik biasa. Soedarmaji telah membuktikan itu dan bukti pendidikan istimewa yang telah diraihnya. Ia menyatakan – secara tidak langsung - kedatangannya ke Majlis bersama Ummi sore itu adalah penjelasan yang sharih atau jelas dan terang bahwa Maulana al-Syaikh adalah guru yang tidak dapat digambarkan dengan nalar cendekia.
Majlis merenung bahwa gelisah hati Soedarmaji dalam kecintaan mendalam terhadap istrinya tampak-nya dirasakan oleh seorang sosok agung dari Lombok ketika melintas di langit Jawa. Upaya pantang menyerah untuk mengobati sakit yang diderita kekasihnya itu tampaknya jelas diketahui oleh Maulana al-Syaikh. Lewat alam kewalian dan hadir secara badaniah itu pula Maulana al-Syaikh datang ke altar gereja menemui Soe dan menitipkan obat bagi istrinya. "Shalat-shalat-shalat".
Jika saja hanya sebatas membantu Soe menepis gundah dan rasa bersalah pada istrinya, maka mengapa Maulana al-Syaikh kemudian harus datang mengajar-nya. Mengapa Maulana al-Syaikh menyempatkan diri mengajar lelaki petualang itu dalam kondisi iman islami belum lagi dirasukkan ke jiwanya.
Mengapa pula Maulana al-Syaikh berkenan meraih tangan lelaki Katolik yang liar itu untuk kemudian diterimanya menjadi murid "simpanan"? Biarlah sudah tak usah dijawab teka-teki itu karena jelas Sang Maha Kuasa ingin menunjukkan kuasanya. Kuasa yang men-dera air mata. Kuasa yang tak pantas didekati dengan logika. Semua tentu di luar batas logika jauh dari wilayah nalar kita.
La haula wal quwwata illa billah.
Majlis juga merenungkan cerita Soe bahwa dia diajar oleh Maulana al-Syaikh di kampungnya dengan cara yang ia sendiri mengetahuinya mungkin bisa diletakkan sebagai perkara yang tidaklah terlampau aneh. Hal ini karena dalam banyak kasus para penuntut ilmu yang shalih kadang diajarkan oleh ulama atau wali dengan cara yang tidak dapat digambarkan sebagai pembelajaran duniawi.
Setelah caturwulan pertama dilaluinya ia diundang datang untuk melanjutkan pendidikannya di alam lahiriah. Ya, ia datang belajar langsung pada gurunya di al-Abrar untuk menjadikan dalil bahwa persuaan tiga bulan yang komplit memang nyata adanya. Kehadiran Maulana mengajarnya di Surabaya memang terjadi dan bukan mimpi. Maulana al-Syaikh sendiri yang menyapa-nya pertama kali saat datang itu sebagai pengakuan bahwa Maulana al-Syaikh memang gurunya yang selama tiga bulan lalu datang padanya. Inilah bukti bahwa Maulana al-Syaikh jelas dan zahir datang secara badaniah ke rumah Soedarmaji.
Hampir tidak dijumpai dalam sejarah orang yang diajar oleh seorang wali secara gaib pada saat sang wali masih hayat, lalu diundang datang untuk belajar secara nyata di alam zahir, lalu setelah wafatnya masih terus menerus diajar. Pengajarnya itu siapa? Kelas manusia apa? Dan ini nyata. Karamah seorang wali yang tiada putusnya, terasa dalam masa yang tak berdimensi meski setelah tak di dunia lagi.
Sahabat, seperti pengakuannya ia bukan orang baik-baik. Ia penganut Katolik. Ia terbiasa dalam kehidupan yang tak biasa. Lalu .... mengapa ia menjadi siswa khusus seorang waliyullah agung sekelas Maulana al-Syaikh. Jawabnya, itulah kuasa hidayah. Itulah kuasa kehendak. Ia bukan murid, namun murad. Ia bukan orang Nahdlatul Wathan namun yang jelas ia dijadikan santri oleh pemilik Nahdlatul Wathan. Ia dikehendaki untuk menjadi.
Soe adalah murid yang mendapat hikmah dari seorang ahli hikmah. Lalu atas kehendaknya ia datang kepada Ummi untuk menceritakan kebesaran Sang Ahli Hikmah, yang tak lain adalah al-Magfurulah.
Apa yang dapat disembunyikan jika Allah menghendaki.
Apa yang bisa dinafikan jika Ia menghendaki
Apa yang tidak bisa dengan kehendak-Nya
Apa yang tak bisa
Apa?
****
Cuplikan dari buku Karamah Cinta Maulana
Dari Majlis al-Aufiya' wal-Uqala'
Penulis: Muhammad Thohri, Lalu Muhyi Abidin, Khairi Yasri, Fahrurrozi, Zakaria, Zainuddin, Lalu Mustajab, Lalu Fauzi Hariadi, Nurkholis Muslim, Hurnawijaya Muhtamin, M. Gufran Haramain, Nurul Muttaqin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar